Selasa, 01 Februari 2011

KETETAPAN HUKUM ATAS UANG KERTAS

oleh Prof. Umar Ibrahim Vadillo

Dapat disimpulkan bahwa uang kertas –dollar, pounds, franc, dan lain lain– merupakan hutang, karena specie yang mereka wakili disimpan di tempat yang jauh dari kendali kita, hal ini tidak dapat kita terima, karena dikhawatirkan mereka akan menanggalkan perjanjiannya –yang ternyata terbukti dikemudian hari.


Hal pertama yang muncul saat membuat keputusan adalah untuk memahami subjek permasalahannya, dalam kasus ini uang kertas. Setelah itu kita dapat menentukan referensinya melalui al-Qur’an dan fiqh. Uang kertas telah berevolusi seiring dengan sejarah. Apa yang kita kenal hari ini sebagai uang kertas tidak seperti uang kertas sebelumnya. Pada dasarnya evolusi ini telah melewati tiga tahap:
1. Nota janji pembayaran yang di backup oleh emas dan perak.
2. Proses devaluasi unilateral yang mengarah pada pembatalan sepenuh- nya dari kontrak perjanjian pembayaran.
3. Selembar kertas yang tidak di backup oleh specie -alat tukar sejati, yang nilai legalnya ditentukan oleh pemaksaan Hukum Negara.
Mari kita telusuri tiga tahap ini satu-persatu.

Pertama
Pada awalnya, uang kertas diedarkan oleh oleh bank dan mewakili sejumlah emas atau perak, dikenal sebagai ‘specie’. Meskipun sebenarnya ‘specie’ tidak dibackup 100% dengan specie, pengedarannya oleh bank mewajibkan bank membayar sekian jumlah specie saat ditagih. Dalam hal ini uang kertas atau ‘specie’ mewakili sekian jumlah hutang.

Saat uang kertas berperan sebagai hutang, dapatkah ia diterima? Peredaran yang bagaimana yang relevan dengan Syariat Islam?

Pada tahap ini sejumlah emas dimiliki secara tipikal oleh institusi perbankan yang mengedarkan sertifikat bagi pemiliknya untuk menarik sejumlah specie saat diminta. (Kita akan mengabaikan fakta bahwa institusi perbankan merupakan institusi Riba. Kita anggap bank tidak berhubungan dengan bunga untuk berkonsentrasi pada pada pengedaran uang kertas itu sendiri.)

A) Pengedaran pertama yang muncul adalah amanah (kepercayaan) seseorang: emas anda dipercayakan pada seorang bendahara. Apa hukumnya dalam Islam mengenai hal ini? Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an dalam surat al-’Imran (3:74):
Diantara Ahli Kitab terdapat sebagian orang yang, bila kamu percayakan atas mereka sejumlah emas, mereka akan mengembalikannya padamu.

Namun terdapat sebagian diantara mereka yang, bila kamu percayakan atas mereka satu dinar, mereka tidak akan mengembalikannya padamu,

kecuali jika kamu terus berdiri atas mereka.
Itu dikarenakan mereka berkata; “Kami tidak memiliki kewajiban atas orang orang ummi.” Mereka berkata bohong pada Allah padahal mereka mengetahuinya.
Hukum –atau perintah– dalam ayat ini, menurut Qadi Abu Bakr ibn al-Arabi dalam ‘Ahkamul Qur’an’, adalah sebagai berikut:
“Adalah haram bagi Muslim untuk percaya (amanah) pada Kuffar diluar Dar al-Islam,
yaitu, “tanpa ada dominasi atas mereka” dibawah kekuasaan otoritas Muslim. Sebagai penjelasan dari ini, dapat ditemukan dalam ayat itu sendiri: “Dikarenakan mereka akan berkata, ‘kami tidak memiliki kewajiban … ,’” dengan kata lain, mereka dapat/akan menanggalkan perjanjiannya. Sebagaimana hal ini telah dibuktikan oleh sejarah, maka dapat kita simpulkan bahwa hal ini merupakan permasalahan vital yang penting.

Arti dari semua ini adalah tidak dapat diterima bagi Muslim untuk menyimpan/menabung kekayaannya pada kuffar dimanapun dikarenakan kita tidak memiliki Dar al-Islam sebagai ‘dominasi atas mereka’. Dengan penafsiran singkat, diperbolehkan untuk memberi amanah pada seorang kafir bila dilakukan dibawah naungan otoritas Muslim. Pada versi ini kita dapat menerimanya. Namun yang termasuk kategori ditolak adalah memberikan amanah pada kuffar saat kekayaan disimpan dibawah otoritas kafir.

Dapat disimpulkan bahwa uang kertas –dollar, pounds, franc, dan lain lain– merupakan hutang, karena specie yang mereka wakili disimpan di tempat yang jauh dari kendali kita, hal ini tidak dapat kita terima, karena dikhawatirkan mereka akan menanggalkan perjanjiannya –yang ternyata terbukti dikemudian hari.

B) Sekarang, diasumsikan amanah berada dibawah otoritas Muslim, permasalahan kedua yang timbul adalah mengenai nota janji bayar (uang kertas) yang diperlakukan sebagai uang. Dengan kata lain, apakah uang kertas dapat diterima sebagai alat tukar menurut Syariat Islam.

Dalam kasus ini hukum ‘perpindahan/transfer hutang’ menjadi relefan. Berdasarkan Madzab Amal Madinah kita mendapatkan ketetapan berikut ini dan penjelasannya dalam Kita Al-Muwatta Imam Malik:

Imam Malik berkata, “Seseorang tidak sepatutnya membeli hutang yang dimiliki orang lain baik mereka itu hadir maupun tidak, tanpa konfirmasi dari pemilik hutang terlebih dahulu, tidak juga membeli hutang dari orang yang telah wafat meskipun dia mengetahui almarhum telah tiada. Itu dikarenakan untuk membelinya merupakan transaksi yang tidak pasti dan orang lain tidak mengetahui apakah transaksi itu akan selesai atau tidak.”

Ia juga mengatakan, “Penjelasan mengenai apa yang tidak disetujui dalam penjualan hutang yang dimiliki orang yang tidak hadir atau mati adalah tidak diketahui penghutang yang mana yang meng-klaim terhadap orang mati tersebut. Bila orang yang mati tersebut memiliki hutang yang lain, harga yang diberikan oleh pembeli hutang sebagai kekuatan hutang dapat hilang.”

Imam Malik mengatakan, “Terdapat juga cacat lainnya dalam hal itu. Dia membeli sesuatu yang tidak dijaminkan baginya, demikian juga bila transaksi belum terpenuhi, apa yang dibayarkannya menjadi tidak bernilai. Hal ini merupakan transaksi yang tidak jelas dan itu tidak baik.”

Gagasan dasar dalam pemindahan hutang dari pengedar hutang asli (orang yang memiliki kewajiban membayar hutang) harus menjamin kekuatan harga dari hutangnya kepada transferee (orang yang menerima nota hutang). Sehingga, kontrak hutang pertama dilikuidasi dan kontrak hutang baru dibuat tersendiri . Hutang selalu dianggap sebagai kontrak pribadi antara dua pihak, tidak bersirkulasi tanpa membuat jaminan pribadi baru (kontak hutang baru). Alasannya adalah orang yang mengedarkan hutang bisa saja mempunyai kewajiban (obligasi) baru lainnya diluar kesanggupan untuk memenuhi kewajibannya.

Bagaimana praktek ini bisa diterapkan saat uang kertas diedarkan oleh bank sebagai hutang? Karena Bank –dan ini menjadi sumber gagasan uang kredit– mengedarkan lebih banyak obligasi (kewajiban membayar hutang) dibandingkan jumlah yang mereka simpan sebagai specie, akan tidak dapat diterima bila nota ini dipergunakan dalam perdagangan. Alasannya adalah, orang penerima hutang yang tidak dijaminkan baginya, terutama karena mengetahui obligasi tidak dijaminkan untuknya karena pengedarnya (bank) memiliki kewajiban lebih banyakdari yang bisa ditanggungnya. Jika semua depositor pada suatu bank menagih nilai (kekayaan, specie) mereka, seperti yang terjadi saat ‘rush perbankan’, bank tidak akan dapat memenuhi tanggung jawab membayar kewajibannya.

Kesimpulan: Saat hutang berperan sebagai alat tukar (uang), dalam Syariat Islam kita tidak diperbolehkan mempergunakannya. Maka kita tidak diperbolehkan mempergunakan dollar, pond, euro atau nota lainnya, baik yang datang dari bank kafir maupun bank milik-Muslim, baik specie-nya disimpan dalam negeri kafir ataupun dalam negeri Muslim. Nota perbankan tidak diperbolehkan untuk beredar. Bagaimana bila nota tersebut tidak diedarkan oleh bank melainkan oleh orang yang hadir dan dapat secara pribadi menjamin pemilikan fisik barang, dalm kasus ini dapatkah nota hutang dialihkan, dijual atau beredar secara umum? Apsek Syariah apa yang relevan untuk menganalisa kasus ini?

Kembali kita harus memasuki permasalahan peralihan hutang. Yang relefan disini adalah: kekayaan real apa yang harus dimiliki sebagai jaminan kewajiban bayar (obligasi)? Dengan kata lain, apa kekayaan dibalik nota hutang? Bila obligasi dalam emas (uang) maka aturan pembatasan lainnya diperlukan. Bila obligasi dalam makanan, kembali, aturan pembatasan lainnya diperlukan. Ini dikarenakan emas, perak dan makanan memiliki pengaruh yang signifikan dalam perdagangan –mereka umumnya dipergunakan sebagai alat tukar. Kasus ini meliputi:

Dalam bab Pertukaran-Uang dalam kitab Muwatta Imam Malik kita dapatkan:
“Yahya meriwayatkan padaku dari Malik dari Ibn Syihab dari Malik ibn Aws ibn al-Hadasyan an-Nasri bahwa ia pernah ditanya mengenai pertukaran 100 Dinar.

Ia berkata,`Talha ibn ‘Ubaydullah memanggilku dan kami melakukan kesepakatan bahwa kami akan melakukan pertukaran. Ia mengambil emasnya dan memegangnya ditangannya dan berkata, “Aku tidak bisa melakukan pertukaran sebelum bendaharaku membawa uang untukku dari al-Ghaba.”

‘Umab ibn al-Kattab mendengarnya dan ‘Umar berkata, “Demi Allah! Jangan meninggalkannya sampai engkau mengambil uang darinya!”

Kemudian ia berkata, “Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, berkata ‘Emas ditukar perak adalah Riba kecuali dari tangan-ke-tangan. Kurma ditukar kurma adalah Riba kecuali dari tangan-ke-tangan. Gandum ditukar gandum adalah Riba kecuali dari tangan-ke-tangan.’”"
Pembatasan pertama adalah kita tidak dapat menggunakan emas atau makanan dalam pertukaran (sarf) kecuali barangnya secara fisik ada di sana. Kita tidak diperkenankan mengklaim emas atau makanan yang disimpan di bendahara atau orang lain. Barang yang ditukarkan harus ada.

Persoalan ini mencegah kemungkinan penggunaan uang kertas yang mewakili emas atau perak hari ini untuk membeli fisik emas dan perak. Sebagai tambahan, pertukaran nota kertas dengan nota kertas lainnya juga dilarang karena merupakan Hutang-untuk-Hutang.

Pelarangan penggunaan nota janji bayar dalam pertukaran (jual-beli) lebih lanjut diperkuat dengan keadaan berikut:
Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar bahwa al-Qasim ibn Muhammad berkata, “‘Umar ibn al-Khattab berkata, `Dinar untuk dinar dan dirham untuk dirham dan sa’ untuk sa’. Suatu yang akan diambil kemudian tidak untuk dijual dengan sesuatu yang di tangan.’”

Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa Abu’z-Zinad mendengar Sa’id al-Musayyab berkata, “Riba terdapat hanya dalam emas dan perak atau apapun yang ditimbang dan diukur oleh makanan dan minuman.”
Semua ini dengan jelas menunjukkan bahwa bukan hanya emas dan perak saja tapi juga makanan yang menjadi ukuran pembayaran termasuk dalam larangan, dengan kata lain, larangan ini meluas menjadi bentuk ‘alat tukar umum’ apapun. Nota apapun yang mewakili ‘alat tukar umum’ tidak dapat dipergunakan dalam pertukaran. Dengan acuan pembatasan tersebut, berarti nota perbankan tidak dapat digunakan sebagai uang/alat tukar, melainkan hanya sebagai kontrak pribadi –yang mendasari argumen kita.

Bagaimana dengan nota yang dipegang oleh bendahara Muslim dan dijamin: dapatkah dipergunakan dalam transaksi selain pertukaran? Dapatkah nota itu digunakan sebagai, contohnya, untuk membeli barang-barang di pasar?
“Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar tanda terima/kwitansi (sukukun) dibagikan pada penduduk pada masa Marwan ibn al-Hakam untuk barang di pasar al-Jar. Penduduk membeli dan menjual kwitansi diantara mereka sebelum mereka mengambil barangnya.

Zayd ibn Tsabit bersama seorang Sahabat Rasulullah, sallallahu alayhi wa sallam, pergi menghadap Marwan ibn al-Hakam dan berkata, “Marwan! Apakah engkau menghalalkan Riba?” Ia menjawab, “Naudzubillah! Apakah itu?” Ia berkata, “Kwitansi-kwitansi ini yang dipergunakan penduduk untuk berjual-beli sebelum menerima barangnya.”

Marwan kemudian mengirim penjaga untuk mengikuti mereka dan mengambilnya dari penduduk kemudian mengembalikannya pada pemilik aslinya.”
Berdasarkan peristiwa tersebut, berarti kita tidak dapat mempergunakan surat janji bayar dan menggunakannya untuk berjual-beli layaknya uang. Tujuan dari surat janji bayar adalah bukan sebagai uang, tetapi sebagai kontrak pribadi yang harus tetap pribadi, bukan kontrak umum.

Lalu apa fungsi dari nota janji bayar? Bagaimana cara penggunaannya yang halal?

Adalah halal untuk membuat kontrak atau hutang, juga dihalalkan pemindahan dari hutang tersebut, dengan syarat pelakunya dapat dijangkau dan dapat menjamin pembayaran hutangnya dengan membuat kontrak baru (nota janji baru) dengan penerima baru. Bila penjamin bukan seorang Muslim, maka sebagai tambahan dari yang telah kita bahas, dia harus orang yang amanah dalam wilayah Muslim dan sepenuhnya dibawah pengawasan otoritas Muslim yang berwenang.

Kedua
Tahap kedua menunjuk pada masa proses dimana uang kertas secara konstan ter-devaluasi dari fungsi dan kewajiban awalnya (bank membayar lebih kecil dari kewajiban yang dijanjikan sebelumnya), sampai titik dimana hutang sepenuhnya dibatalkan dari pembayaran (bank meninggalkan kewajibannya). Ini merupakan eliminasi terakhir dari obligasi yang terjadi terhadap US dollar pada tahun 1973, ketika presiden Nixon secara sepihak mencabut kewajiban membayar satu ounce (31.1 gram 24 karat emas) untuk setiap 35 US dollar.

Bagaimana dalam Islam posisi nota janji bayar saat salah satu pihak secara sepihak mencabut kewajibannya, baik sepenuhnya ataupun parsial? Dengan kata lain, bagaimana hukumnya dalam Islam saat hutang dicabut atau di-devaluasi secara sepihak?

Hal ini tentu saja tidak dapat diterima dan merupakan pelanggaran atas perjanjian. Bila dilakukan sebelumnya dengan perantaraan dan tidak ada yang bertanggung jawab atasnya, maka jumlah yang hilang adalah murni pencurian. Pencurian terkena hukuman dalam Islam.

Penggunaan nota bayar yang dialihkan pada orang lain, terbatas pada yang telah kita nyatakan sebelumnya, dengan elemen tambahan. Anda berurusan dalam surat janji bayar dengan pencuri terkenal yang tidak akan mengakui kesalahannya dimasa kini dan dimasa lalu.

Ketiga
Pada akhirnya kita sampai pada uang yang kita miliki saat ini. Tidak ada janji pembayaran dalam specie atau apapun bentuknya. Hanya nilai legal berdasarkan kewajiban warga-negara untuk menerima mata uang nasional sebagai sarana penebus hutang. Disebut juga ‘Hukum Legal Tender’. Legal Tender memberi kemampuan unik pada Negara untuk menyita kekayaan seseorang dalam wilayah negara dan memberikan nota legal sebagai kompensasinya.

Dapatkah sarana pembayaran ini diterima dalam Islam?

Imam Malik mengatakan;
“Uang adalah komoditas yang secara umum diterima sebagai media pertukaran.”
Hal ini disebabkan oleh dua hal:
1. Uang haruslah suatu komoditas dagang. Termasuk juga kertas, namun dinilai dari harganya (nilai intrinsik) bukan berdasarkan apa yang tertulis. Uang harus sesuatu yang berwujud nyata/tangible (‘ayn). Uang tidak dapat mewakili sesuatu yang lain dari dirinya.

2. Uang harus diterima secara umum. Sehingga tidak ada paksaan didalamnya dan tidak boleh penggunaannya menjadi kewajiban bagi kita. Bahkan pemakaian Dinar Emas sebagai uang-pun tidak diperbolehkan untuk menjadi kewajiban masyarakat. Dinar Emas dan Dirham Perak merupakan uang pilihan bebas, bukan merupakan hasil dari ketetapan atau paksaan. Sedangkan uang kertas merupakan pemaksaan atas masyarakat. Kewajiban pemakaian ini tidak diperbolehkan dalam Islam karena dua sebab:
• Kecurangan dalam penawaran: bank mengharuskan penerimaan sesuatu diatas nilainya (nilai asli kertas adalah nol).
• Kewajiban dari penawaran: bank mengharuskan penerimaannya, baik disukai maupun tidak disukai.
Hal ini merupakan perbuatan yang tidak adil dan diperkuat lagi dengan dukungan hukum Negara yang membatasi penggunaan komoditas lain sebagai sarana pembayaran, khususnya terhadap emas dan perak. Pemakaian emas dan perak sebagai uang antara dikenakan pajak, terkena regulasi bahkan terkadang dilarang. Dalam kasus ekstrim kita dapatkan emas pribadi akan disita dari warga negara berdasarkan undang-undang, sebagaimana yang terjadi di USA.

Kesimpulan Terakhir

Uang kertas bukan uang yang sah menurut Syariat Islam, baik pada saat ini maupun yang telah lalu. Uang yang sesuai Syariat Islam adalah Dinar Emas dan Dirham Perak. Komoditas apapun yang umum diterima sebagai alat tukar dapat diterima sebagai uang yang sah dalam Islam.


Tidak ada komentar: