Rabu, 08 Januari 2014

Do'a yang Meleset ?

Saya tidak tahu lagi analogi apa yang lebih tepat untuk menyebutnya. Apa saja itu ?

Pertama, Pembimbing Siswa Akhir.
Ketika Masih di Gontor dulu, saya punya sedikit harapan untuk dapat menjadi pembimbing siswa akhir. Mengapa ? Untuk apa ? Apa karena PGnya ? Supaya dapat pamor tinggi ?. Wah, kalau cuma untuk dapat pamor tingggi, tidak usah capek-capek jadi musyrif siswa akhir. Mending jadi artis saja, ya toh ?

Tentu saja bukan untuk hal-hal semacam itu. Sebab menjadi pembimbing kelas akhir menjanjikan banyak pengalaman. Bukan hal baru kalau dinamika kesantrian tingkat akhir sangat tinggi. Karena yang dibina adalah calon guru. Jelas perlu pembekalan yang lebih, serta pengawalan ekstra.

Nah, keinginan menjadi pembimbing siswa akhir itulah yang sempat mendorong saya untuk sengaja menunda wisuda saarjana menjadi lebih lambat setahun. Tapi, atas desakan teman sekelas, niat itu saya urungkan. Sehingga wisuda jadi tepat waktu, meskipun dengan nilai pas-pasan. Kemungkinan, setelah karantina para sarjana, saya dipindahtugaskan ke tempat lain. Keputusan yang otomatis membuyarkan harapan menjadi pembimbing siswa akhir.

Pirasat itu terjadi juga akhirnya. Bapak pimpinan memindahtugaskan saya ke tempat lain. Harapan benar-benar pupus. Karena secara status dan struktur, tidak lagi sebagai pengajar di Gontor. Walaupun pemindahtugasan itu tidaklah jauh, hanya ke desa seberang. Dan bisa saja saya sering-sering nimbrung dalam forum teman-teman pembimbing siswa akhir. sok dekat, sok sibuk, dan sok-sokan lainnya, yang di ma'had populer dengan istilah "yahanu".

Nasib baiknya, karena saya hanya dipindahtugaskan ke desa seberang, sempat dilibatkan dalam tahap awal latihan Panggung Gembira. Pada malam latihan perdana, terdorong rasa kangen, saya jalan kaki ke kompleks latihan di Gedung Robithoh. Disambut hangat oleh teman-teman satu angkatan. Saling bertanya kabar dan senda gurau seperti biasanya. Lalu berkeliling ke kelas-kelas tempat latihan per acara. Sampai di sebuah kelas, terpampang kertas di pintu bertuliskan "Tari Aceh, Pembimbing : Al-Ustadz Muhammad Pemuka Nitigama, Kamar : Al-Muqoddasah".

Melihatnya, saya tersanjung. Tidak mengira, saya bakal dilibatkan. Saking senang dan semangatnya langsung sibuk masuk ke ruang kelas yang jadi tempat latihan itu. Menanyakan siapa penanggungjawab acaranya, bagaimana rencana latihannya, bagaimana konsep, sampai gebrakan apa yang akan dihadirkan nantinya.

Beberapa hari selanjutnya, jadi lumayan rajin berkunjung, melihat anak-anak latihan. Tapi kegamangan mulai muncul. Teringat sebentar lagi di Ma'had juga ada acara pentas seni, bertajuk Gebyar Seni Ma'had Al-Muqoddasah yang biasa disingkat GSM. Mau tidak mau harus terjun, all-out juga di acara ini.

Mulailah, fokus terbagi. Menjadi jarang berkunjung ke PG, sampai pada akhirnya tidak pernah menunjukkan kaki di kompleks latihan. Anak-anak terbengkalai. Sampai koordinator pembimbing PG menanyakan atau lebih tepatnya mempertanyakan kesediaan saya membimbing acara yang dimaksud.

Setelah berpikir panjang, menimbang, mengenai latihan Tari Aceh yang terbengkalai. Belum lagi gladi perdana yang segera digelar dalam waktu dekat, saya memutuskan untuk melepas posisi sebagai pembimbing. Sekaligus meminta diganti dengan yang lain. Dengan berat hati tentunya. Karena harus fokus ke latihan GSM.

Sampai dengan acara PG dihelat, sepanjang masa latihan, saya hanya datang setiap gladi di depan Gedung Laboratorium. Dan ketika PG digelar, bersyukur juga bisa membantu teman-teman pembimbing, walau cuma menemani menjaga proyektor mapping di Gedung Aligarh lantai 2 sebelah barat. Biarpun pekerjaan sepele, urusan menjaga proyektor ini penting. Sebab, alat yang menembakkan cahaya ke background acara itu menjadi teknologi unggulan dalam pagelaran kali ini. Dan juga menjadi terobosan baru karena merupakan kali pertama digunakan untuk acara ini.

Fokus di GSM, melepas "Tari Aceh" di PG, saya diamanati membimbing acara koor/paduan suara. Alhamdulillah, bisa mengantarkan anak-anak sampati tampil di atas panggung walaupun bukan ahli tarik suara. Bantuan dari rekan Fikri Ramadhan yang memang lebih ahli sangat berarti banyak.

Selepas rentetan acara 20 tahun, kegiatan ma'had kembali stabil. Salah satu fokusnya, adala pembinaan siswa akhir, meliputi kelas 9 ( kelas 3 SMP ) dan kelas 12 (kelas 3 SMA). Tanpa diduga, Dewan Pengasuhan Santri menunjuk saya dan Al-Ustadz Ahmad Fikri Adan untuk menjadi pembimbing mereka.

Tidak tahu harus bereaksi apa ? Senang ? Kesal ? Bingung ?. Yang jelas, seperti yang diajarkan dulu, masih tetap menggenggam semboyan "pantang menolak tugas". Jadilah kami berdua menjadi teman mereka selama semusim. Alhamdulillah, dapat mengantarkan generasi yang mempunyai nama elegan, "RAVENCLAD", itu sampai akhir perjalanan mereka.

Jadi, membimbing siswa akhir, seperti do'a yang meleset ?

Kedua, mengajara pelajaran "Durusul Lughoh".

Dulu, melihat asatidz yang berteriak penuh semangat di depan kelas, mengajarkan pelajaran tamrin lughoh, jadi punya keinginan juga untuk jadi pengajar untuk pelajaran tersebut.

Tapi, itu hanya dapat terwujud bilamana ditunjuk jadi wali kelas 1 atau 1 Intensif (Tamrin Lughoh Jilid 1). Sepertinya dengan sederet kasus pelanggaran dan reputasi yang terlanjur buruk di mata pimpinan, sulit rasanya harapan itu terwujud.

Jangankan ditunjuk jadi wali kelas 1 atau 1 intensif. Jadi wali kelas saja masih diragukan. Kalaupun ditunjuk dan diberi amanat, tentulah nama saya diberi tanda kurung, tanda petik yang di dalamnya berbunyi : dalam pengawasan, dalam pantauan, percobaan, dan sejenisnya.

Ketika bertugas di tempat yang baru, diamanati juga mengajar di SMP dan SMA-nya. Dan ternyata mendapat kesempatan mengajar pelajaran Bahasa Arab. Buku yang dipakai ? Tamrin Lughoh jilid 1.

Wah, seperti  mimpi yang jadi nyata. Langsung bersemangat menyusun program ajar. Terlebih ketika di dalam kelas, di depan santri-santri, berteriak-teriak menyampaikan pelajaran penuh antusias. Menagih pekerjaan rumah mereka. Mengevaluasi latihan, tertawa sendiri saat melihat kesalahan-kesalahan yang aneh. Sungguh pengalaman yang berharga.

Jadi, mengajar Tamrin Lughoh seperti do'a yang meleset ?

Hikmah yang bisa dipetik, harus tetap optimis dan berprasangka baik terhadap Allah, Sang Pencipta. Dia selalu menempatkan hamba-Nya di tempat yang terbaik. Percaya !.

Bermimpilah ! Dia akan memeluk mimpi-mimpimu !

Tidak ada komentar: